Peninggalan sejarah saat ini sering terlupakan
diakibatkan oleh kemajuan jaman yang membuat orang melupakanya khususnya di
daerah DKI Jakarta. Banyak bangunan bersejarah yang tidak terawat tempatnya
bahkan juga ada yang menghancurkan bangunanya untuk kepentingan perorangan.
Bangunan bersejarah yang seharusnya dirawat untuk mengenang tempo dulu, namun
kini sudah jarang ditemui. Bangunan bersejarah lebih banyak dihancurkan
kemudian dibangun gedung-gedung tinggi dan mall mewah.
Namun diujung Jakarta tepatnya di daerah Marunda,
Cilincing, Jakarta utara masih dapat kita temui dan lihat peninggalan
bersejarah yaitu Rumah Si Pitung. Disana kita dapat melihat banyak peninggalan
dari masyarakat Betawi asli. Suasana angina yang terasa sangatlah sejuk disana
karena letaknya yang tidak jauh dengan pantai.
Keunikan dan keaslianya namun sudah kurang terasa
apabila kita berkunjung kesana, dikarenakan perenovasian dan peremajaan rumah
si Pitung. Namun hanya beberapa bagian saja yang direnovasi seperti mengecat
rumahnya, memperbaiki genteng yang bocor dan lantai bangunan yang berlubang hal
ini diungkapkan langsung oleh pekerja disana. Apabila ingin berkunjung kesana jangan
lupa membawa uang receh yang banyak, karena banyak pengemis yang meminta mulai
dari anak kecil hingga orang tua.
Sejarah singkat mengenai si pitung, si Pitung
merupakan jagoan Betawi Menurut buku Sejarah Kampung Marunda yang
diterbitkan Dinas Pariwisata dan Permuseuman DKI Jakarta. Si pitung sangat
kesal dengan Belanda karena ia menganggap bangsa Belanda sangat semena-mena
dengan masyarakat pribumi, oleh karena itu ia mencuri orang-orang Belanda yang
kaya kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin.
Beberapa kali Si Pitung ditangkap dan dipenjarakan, tetapi selalu dapat
meloloskan diri. Karena itu, ia dijadikan legenda, bisa menghilang dan tidak
mempan oleh peluru. Karena aksi-aksinya yang membuat panik penjajah dan
keamanan di Batavia terganggu, Belanda pun menugaskan Scehout (pemimpin di
kepolisian) memimpin operasi penumpasan. Karena dikhianati salah satu kawannya,
Pitung ditembak oleh Scehout Heyne dan pasukannya, dengan peluru emas yang
khusus disediakan untuk melawan kesaktiannya. Kemudian mayatnya dimakamkan
dengan tubuh terpisah dengan kepala.
Untuk menuju Rumah Si Pitung bisa dikatakan tidak terlalu mudah dan juga
tidak terlalu sulit. Hal ini dikarenakan jalannya yang berbelok-belok dan
beberapa ruas di seputaran Marunda juga mengecil. Paling mudah ambil saja
patokannya, Pelabuhan Tanjung Priok. Dari Situ anda bisa tanya menuju Maruda
Center. Lokasi Rumah Si Pitung sekitar dua kilometer dari Marunda Center.
Ketika anda sampai di Marunda Center, tanya orang setempat, pasti tahu semua
keberadaan Rumah Si Pitung. Hal ini dikarenakan rumah si Pitung sudah dijadikan
cagar budaya oleh pemerintah DKI Jakarta.(aji, icon)
Nama kampung di Betawi yang
menjadi bagian wilayah Marunda Pulo. Marunda, merupakan daerah di
Jakarta yang penduduknya masih melestarikan bangunan rumah
tradisional Betawi. Letaknya di pinggir pantai, sehingga sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Di Marunda terdapat
satu istilah yakni nelayan empang untuk menyebut nelayan tambak
atau petani tambak. Semula banyak orang Betawi di Kelurahan Marunda
berprofesi sebagai nelayan empang. Sebutan ini mencerminkan keakraban
mereka dengan laut dan pentingnya pekerjaan dari hasil laut bagi
mereka.
Asal Mula Marunda: Legenda nama Marunda terdapat dua versi. Pertama,
menurut cerita terjadinya kampung Marunda berawal dari sebuah masjid
yang ditunda pembuatannya karena penduduk setempat belum
bisa menerima siar agama Islam. Sesuai pesan Syarif Hidayatullah,
supaya meninggalkan kampung jika ada konflik akibat siar
agama Islam.Ketika penduduk kampung sudah sadar dan memerlukan tempat
ibadah, pembangunan masjid dilanjutkan kembali. Masjid itu dinamakan
masjid Marunda. Marunda berasal dari kata tunda. Kampung tempat
didirikannya masjid diberi nama kampung Marunda.
Kedua,
konon nama Marunda berasal dari seorang perampok bernama
"Ronda", yang menggarong dan membunuh seorang pedagang kaya
Tionghoa, yakni Nuk Eng Cak. Oleh karena itu Ronda diburu oleh Tuan
Schot, artinya 'Tuan Kepala Daerah' yang merangkap polisi. Akhirnya
Ronda ditangkap dan ditahan dalam penjara di Glodok, yang sampai
tahun 70-an masih tampak di belakang Pasar Lindeteves sekarang. Akan
tetapi, cerita ini bukan sejarah, karena nama "Marunda" sudah terdapat
sejak akhir abad ke-17, sehingga jauh lebih tua dari si Ronda beserta
ceritanya itu.

